Wednesday 18 April 2018

Anak-Anak Dan Remaja Dalam Fiqh Islam



I. Mukadimah
          Sunatullah menggariskan siklus manusia hanya akan mengalami tiga fase penting, hidup, mati kemudian hidup lagi. Hidup pertama kita alami ketika di dunia yang akan berakhir dengan ajal, dan hidup untuk kedua kalinya akan kita alami nanti ketika sampai di akhirat. Islam sekali lagi membuktikan kelebihannya dengan memaparkan secara rinci semua hal yang menjadi bagian dari siklus manusia.
          Sebagaimana perputaran hidup dan mati, manusia ketika di dunia juga tidak lepas dari sub kecil siklus tersebut. Dari mulai lahir, berlanjut masa kanak-kanak, dewasa, tua dan pada akhirnya sampai di penghujung kematian. Suka ataupun tidak suka, percaya maupun tidak percaya semuanya akan mengalami hal serupa. Setiap jenjang ada suasana, setiap tingkatan punya persoalan, dan tentunya setiap strata punya konsekuensi.
          Aplikasi dari hal di atas, ketika kita sadari kita bukan bayi lagi yang selalu dilahirkan dengan nuansa fitrah-nya, tentu kita harus mulai membentuk jati diri sebagai anak-anak atau mungkin sebagai orang dewasa. Jati diri bukan berarti menjadi manusia yang diakui masyarakat, namun untuk menjadi hamba Allah yang mampu memahami arti penghambaan dalam pemahaman yang lebih luas.
Dalam hal ini Islam telah mengatur prinsip pokok peng-gulowentah-an anak ketika menginjak usia anak-anak maupun pada saat masa remaja. Baik dalam keyakinan (ideologis), peribadatan (ritualitas), akhlak dan sopan santun maupun dalam hal-hal lain. Dunia pendidikan dalam Islam menempatkan usia kanak-kanak dan remaja sebagai masa produktif dalam berbagai hal. Dalam usia ini mereka dinilai masih menampakkan nilai fitry sehingga daya ingat maupun kecerdasan otak sangat berpeluang untuk dikembangkan. Hal ini tersirat dalam sebuah hadis, dimana Nabi pernah mendoakan keponakannya, Ibn Abbas ketika masih kanak-kanak :

اللهم فقهه في الدين وعلمه التأويل

"Ya Allah, pahamkanlah ia dengan ilmu agama, dan ajarkanlah ia tentang ilmu ta'wiil (ijtihad)"

Dalam kesempatan lain, Nabi menggambarkan secara lebih jelas tentang potensi dalam masa kanak-kanak dan dewasa dalam sabdanya:

مثل الذي يتعلم العلم في صغره كالنقش على الحجر ومثل الذي يتعلم العلم في كبره ليث يكتب على الماء
وقال أيضا : ما بعث الله نبيا إلا وهو شاب ولا أوتي عالم علما إلا وهو شاب

"Perumpamaan seseorang yang belajar diwaktu kecil adalah laksana mengukir di atas batu, dan
perumpamaan belajar sesudah dewasa bagaikan mengukir bercak di atas air. Nabi bersabda lagi : "Tidak
diutus seorang Nabi kecuali ketika masih muda dan tidak diberikan ilmu bagi orang alim kecuali
ketika ia masih muda".

Merupakan kewajiban orang tua mengajarkan pengenalan akan ketuhanan dan kerasulan. Di sisi lain mereka juga berkewajiban menuntun peribadatan sekaligus menanamkan norma sopan santun baik norma agama maupun norma sosial. Dan ketika mereka melimpahkan hal-hal di atas kepada orang lain tentunya dituntut tanggungjawab dari berbagai pihak, termasuk anak, terlebih lagi disaat mereka mulai lepas dari tanggungan orang tua.

II. Klasifikasi Taklif Dan Hukum Dalam Syariat
          Syariat dalam realita hukumnya selalu memberikan porsi tersendiri bagi kelompok manusia yang berstatus ghair mukallaf (tidak terkena tuntutan hukum). Termasuk salah satunya adalah pada anak-anak yang belum menginjak usia baligh. Namun, meskipun sebenarnya mereka belum terkena tuntutan syariat, Islam mengatur segala hal yang berkaitan dengan kepentingan ibadah maupun kepentingan lainnya. Kewajiban yang belum layak disandang akhirnya dibebankan pada orang tua sehingga orang tua dalam hal ini mempunyai beberapa kewajiban, diantaranya :

a.     Mengajari tatacara bersuci, teori haid, salat dan ibadah rutin lainnya.
b.    Memerintahkan salat setelah anak menginjak usia tujuh tahun.
c.     Memerintahkan puasa pada usia yang sama dengan sarat mampu melaksanakan.
d.    Memukul dengan batas maksimal tiga kali ketika sang anak meninggalkan salat atau puasa, namun dengan pukulan yang tidak menyakitkan.
e.     Selain empat hal di atas, orang tua dianjurkan dalam rangka kesunatan untuk melakukan beberapa hal ketika anak pertama kali dilahirkan. Diantaranya, memberikan nama yang baik pada sang anak serta melaksanakan aqiqah bagi anaknya.

Dan ketika pendidikan dibebankan pada orang lain sebagai pengajar, kewajiban dan hak itupun bisa beralih kepadanya. Hanya saja untuk urusan sangsi pemukulan, akan diperkenankan ketika ada ijin orang tua. Karena mempertimbangkan imbal balik dari kedua belah pihak, pahalapun bisa dimiliki oleh kedua belah pihak, anak, orang tua maupun guru.
          Selain hal-hal tersebut masih tercatat beberapa ketentuan dalam syariat mengenai hukum-hukum tentang anak-anak sebelum menginjak usia baligh, baik mengenai hak maupun kewajiban diantaranya:

a.    Diperkenankannya bai' al-ihtibar (transaksi percobaan) sebagai sarana pendidikan transaksi bagi mereka, yaitu untuk mengetahui tingkat kemampuan seorang anak, ketika anak mendekati baligh.
b.   Kewajiban orang tua membiayai segala kebutuhan belajar, baik untuk kebutuhan pokok maupun melengkapi sarana prasarana.
c.    Diperkenankannya mainan boneka dan gambar-gambar yang tidak berbentuk utuh bagi anak perempuan demi mengajarkan cara menangani urusan rumah tangga.
d.   Hukum pengaturan harta yang diserahkan kewajibannya kepada wali dengan batasan tertentu.
e.    Pengecualian status ghair mukallaf dalam berbagai macam hukum. Seperti halnya hukum kriminal, jihad dan lain sebagainya.

Selanjutnya syariat mengungkap secara jelas perbedaan hukum secara signifikan ketika anak mulai menginjak masa baligh dengan ditandai dengan empat hal, keluarnya sperma dan genap berusia lima belas tahun bagi laki-laki maupun perempuan atau ditandai dengan haid dan kehamilan bagi kaum perempuan. Perbedaan tersebut berawal dari status mukallaf yang disandangnya, sehingga mulai dari saat itu posisi hukumnya akan mandiri dan tidak akan berubah sampai akhir hayat. Semuanya itu bisa kita perhatikan dalam beberapa permasalahan dalam syariat.
Pertama, kewajiban salat serta ibadah lain yang dulunya harus didukung dengan peran orang tua pada akhirnya harus ditanggung sendiri ketika ia menginjak usia baligh. Akan terlaku baginya hukum dari setiap perincian mengenai kewajiban peribadatan. Dan sebaliknya ketika ia meninggalkan, akan berlaku pula ketentuan mengenai tarik al-shalat (orang yang meninggalkan salat dengan sengaja), hukum Istiqrar al-Hajj (ketetapan kewajiban haji), hukum mani' al-zakat (mereka yang menolak berzakat) dan lain sebagainya.
Kedua, dalam urusan transaksi (muamalah) yang semula dibatasi dengan beberapa ketentuan dan jenis serta sebagian masuk dalam pengaturan wali, mulai saat ia baligh ditetapkan bebas dalam semua jenis transaksi, hanya saja harus sesuai dengan koridor syariat. Dikarenakan ketika ia menginjak baligh, status ahliyah al-Tasyarruf (kemampuan manajemen) serta ahliyah al-Tabarru' (kemampuan bidang sosial) telah sempurna ia dapatkan.
Ketiga, pengecualian dalam berbagai bidang hukum yang semula ada, mutlak menjadi hilang dan semuanya berlaku, mulai dari hukum kriminal semacam pembunuhan hingga sampai pada hukum berjihad dengan segala bentuk dan ketentuannya.
          Di luar itu semua, fiqh Islam juga mengatur tentang kewajiban seorang anak terhadap orang tua dengan secara timbal balik. Sebagian selaras dengan konsep umum syariat, namun sebagian yang lain menjadi pengecualian dalam berbagai masalah.
Pertama, Islam mewajibkan anak untuk selalu taat pada perintah orang tua selama bukan atas kemaksiatan, terlebih lagi kepada mereka yang diserahi amanat untuk mendidik kita.
Kedua, dalam beberapa masalah, hubungan orang tua dan anak menjadi pertimbangan hukum yang disendirikan. Dicontohkan, dalam pemberian (hadiah, hibah dan selainnya), pada awalnya tidak diperbolehkan untuk diminta kembali (rujuu'). Namun, pada saat pemberian itu terjadi antara orang tua dan anak, dalam arti orang tua memberi pada anaknya ternyata syariat menetapkan boleh untuk dicabut kembali. Atau dalam berbagai kriminalitas, dimana pembunuhan ataupun pencurian yang dilakukan orang tua atas anaknya tidak menetapkan sangsi sebagaimana mestinya.
          Semua hal yang telah tersebut di atas secara garis besar cukup mewakili dari beberapa ketentuan syariat yang berkaitan dengan anak-anak ketika masih dalam usia dini hingga menginjak dewasa. Semuanya itu masih dalam tataran awal sebelum kita masuk dalam pembahasan syariat yang lebih terperinci. Semoga bermanfaat bagi kita semua……amiien.